🐸 Makam Mama Abdullah Bin Nuh

DiwanMama Abdullah bin Nuh yg dikumpulkan oleh Ust Ikhwan Hakim," jelasnya di akun Nanal Ainal Fauz, (21/7) Ini di antara foto yang diupload: Kemudian Nanal juga sempat ziarah ke makam KH. Abdullah bin Nuh Cianjur. "Sudah lama saya mendengar nama KH.R. Abdullah bin Nuh Cianjur. Alhamdulillah sekarang diberi kesempatan Allah untuk ziarah SiapaNama Ibu Nabi Muhammad Saw - Mengharukan Detik Detik Wafat Nya Nabi Muhammad Saw Alur Cerita Film Umar Bin Khatab 10 Bilibili Abdullahbin Nuh adalah seorang ulama, sastrawan, penulis, pendidik, dan pejuang kelahiran Cianjur, Jawa Barat. Salah satu karyanya yang terkenal di MamaAbdullah Bin Nuh Al Ghazali dari Indonesia Ulama Sederhana Kelas Dunia Tinggal di Bogor Semoga Pemikirannya Selalu Dipelajari oleh Warga Masyarakat Bogor melalui buku dan Majlis Al Ihya. ImamQurtubi. Al-Qurthubi atau Qurtubi adalah seorang Imam, Ahli hadits, Alim, dan seorang mufassir (penafsir) Al-Qur'an yang terkenal. (أبو عبدالله القرطبي). Dia berasal dari Qurthub (Cordoba, Spanyol) dan mengikuti mahzab fiqih Maliki. Dia sangat terkenal melalui karyanya sebuah Kitab Tafsir Al-Qur'an, yang dikenal Bahkankami sempat menaiki bukit karena mengira di sanalah makam beliau berada. Tak diduga-duga di atas bukit tersebut, kami justru menemukan makam tokoh Dompu yang lain, yakni Syekh Abdurrahman. KH Abdullah bin Nuh: Al-Ghazali dari Cianjur. Selasa, 19 Juli 2022; Kota Seribu Wali sebagai Ibu Kota Kebudayaan Islam. Perjalanan. KontribusiAbdullah bin Nuh dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Cianjur, Sukabumi dan Bogor, Jawa Barat Daud bin Abdullah Al-Fatani memiliki pertalian darah dengan Rasulullah SAW baik dari pihak Ayah maupun dari pihak Ibu. Syeikh Daud bin Abdullah Al-Fatani lahir di kampung Parit Marhum dekat Keresik di Patani pada Tahun 1133 H atau 1721 PenulisMahakarya Ulama Nusantara Ahmad Ginanjar Sya'ban menyampaikan bahwa ulama yang dikenal sebagai Mama Gentur Kaler adalah maha gurunya ulama-ulama Sunda di paruh pertama abad 20. "Kiai-kiai (ajengan) Sunda paruh pertama abad 20 itu ya muridnya," katanya kepada NU Online usai berziarah bersama koleganya. Mungkinkarena ada makam guru Beliau di sini, yaitu makam Mama Abdullah bin Nuh." Diketahui, KH Abdullah bin Nuh merupakan ayah dari KH M. Mustofa ABN, sekaligus ulama tersohor dengan kitab-kitab karyanya yang terkenal, salah satunya adalah kitab berjudul 'Ana Muslim Sunni-Syafi'i' yang ramai dikaji di Mesir. Lebih lanjut, KH M. Mustofa mbMx. Jakarta – KH. Abdullah Haq Nuh bin Syekh Ahmad Syathiby Gentur atau biasa dikenal dengan Mama Aang Nuh merupakan putra dari seorang ulama besar bernama Syekh Ahmad Syathibi al-Qonturi Mama Gentur, tidak ada catatan kapan dan di mana Mama Aang Nuh lahir. Namun yang pasti, nasab beliau tersambung hingga Rasulullah SAW. Mama Aang Nuh terkenal dengan beberapa karomah beliau, diantaranya yang masyhur ialah saat Mama Aang Nuh berziarah ke makam Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus, beliau bertemu dan disambut langsung oleh Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus secara jaga yaqodzoh. Kemudian Mama Aang Nuh ditalqin dan dibaiat langsung oleh Habib Husein. Lokasi Makam KH. Abdullah Haq Nuh bin Syekh Ahmad Syathiby Gentur atau Mama Ajengan Aang Nuh wafat pada tahun 1990. Makam beliau terletak di Kp. Gentur, Desa Bangbayang, Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tepatnya di Komplek Pemakaman Makam Keramat Mama Gentur. Selain makam Mama Ajengan Aang Nuh, di dalam komplek tersebut terdapat juga makam Syekh Ahmad Syathibi al-Qonturi Mama Gentur, Mama Ajengan Aang Baden, dan beberapa ulama Cianjur lainnya. CEK LOKASI SELENGKAPNYA DI SINI Tidak banyak dokumentasi terkait makam beliau, dikarenakan peraturan makam yang melarang jamaah membawa HP saat berada di area makam. Beberapa informasi juga memberitahukan bahwa perempuan dilarang masuk ke dalam Makam Mama Gentur. Editor Daniel Simatupang Bangsa Indonesia memiliki sejumlah tokoh atau pelaku sejarah yang memiliki peran besar dalam perjuangan dan kemerdekaan bangsa ini. Di antaranya adalah KH Abdullah bin Nuh, seorang kiai kharismatik asal Cianjur, pendiri Pesantren al-Ghozali sebenarnya sosok kiai pejuang satu ini? Menurut guru besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, nama KH Abdullah bin Nuh cukup dikenal luas di masyarakat Jawa Barat, terutama mereka yang berasal dari kalangan pesantren maupun demikian panggilan hormat para santri kepada tokoh kiai pejuang yang dilahirkan di Kampung Bojong Meron, Kota Cianjur, pada 30 Juni 1905 ini. Ayahnya bernama Raden H Mohammad Nuh bin Idris dan ibunya Nyi Raden Aisyah bin Raden Sumintapura. Kakek almarhum dari pihak ibu adalah seorang wedana di terperinci, silsilah keturunan KH Abdullah bin Nuh adalah sebagai berikut KH Abdullah bin Nuh putera RH Idris, putera RH. Arifin, putera RH Sholeh putra, RH Muhyiddin Natapradja, putra R Aria Wiratanudatar V Dalem Muhyiddin, putra R Aria Wiratanudatar IV Dalem Sabiruddin, putra R Aria Wiratanudatar III Dalem Astramanggala, putra R Aria Wiratanudatar II Dalem Wiramanggala, putra R AnaWiratanudatar I Dalem Cikundul.Di masa kanak-kanak, KH Abdullah bin Nuh dibawa bermukim di Makkah selama dua tahun. Di Tanah Suci ini ia tinggal bersama nenek dari KH Mohammad Nuh, bernama Nyi Raden Kalipah Respati, seorang janda kaya raya di Cianjur yang ingin wafat di dari Makkah, KH Abdullah bin Nuh belajar di Madrasah al-I’anah Cianjur yang didirikan oleh ayahandanya. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke tingkat menengah di Madrasah Syamailul Huda di Pekalongan, Jawa Tengah. Bakat dan kemampuannya dalam sastra Arab di pesantren ini begitu menonjol. Dalam usia 13 tahun, ia sudah mampu membuat tulisan dan syair dalam bahasa Arab. Oleh gurunya, artikel dan syair karya Abdullah dikirim ke majalah berbahasa Arab yang terbit di dari Syamailul Huda, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Hadramaut School di Jalan Darmo, Surabaya. Di sekolah ini, ia tidak hanya menimba ilmu agama, tetapi juga digembleng gurunya Sayyid Muhammad bin Hasyim dalam hal praktek mengajar, berpidato dan kepemimpinan. Saat menimba ilmu di sini pula, ia diberi kepercayaan untuk menjadi guru di Hadramaut School, KH Abdullah bin Nuh mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya, antara lain mengajar, berdiskusi, keterampilan berbahasa dan lainnya. Di Surabaya pula Abdullah menjadi seorang redaktur majalah mingguan berbahasa Arab, dalam bahasa Arab mengantarkan KH Abdullah bin Nuh dikirim ke Universitas al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia masuk ke Fakultas Syariah dan mendalami fiqih Mazhab Syafii. Setelah dua tahun belajar di Al Azhar, KH Abdullah bin Nuh berhasil mendapat gelar Syahadatul Alimiyyah yang memberinya hak untuk mengajar ilmu-ilmu tersebut berlangsung sekitar tahun 1926 dan 1928. Kepergiannya ke sana adalah atas ajakan gurunya yakni Sayyid Muhammad bin Hasyim ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan di bidang ilmu fiqih di Universitas Al-Azhar. Selepas menyelesaikan pendidikan di Kairo, Abdullah kembali ke kampung halamannya dan mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Nyi Raden Mariyah Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah, yang terbilang masih kerabat KH Abdullah bin Nuh sendiri tidak dapat dipisahkan dari nama al-Ghazali. Kiai, cendekiawan, sastrawan dan sejarawan ini bukan hanya dikenal sebagai penerjemah buku-buku al-Ghazali, tetapi juga mendirikan sebuah perguruan Islam bernama “Majlis al-Ghazali” yang berlokasi di Kota Abdullah bin Nuh terkenal dengan pemikirannya yang mendalam tentang al-Ghazali. Pertama, ia mengajar rutin kitab Ihya’Ulumuddin dalam pengajian mingguan yang dihadiri banyak ustadz-ustadz di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan sekitarnya. Kedua, sejak kecil ia mendapat pelajaran dari ayahnya Muhammad Nuh bin Idris, kitab-kitab Imam al-Ghazali, di antaranya Ihya’ Ulumuddin. Ketiga, ia menamakan pesantrennya dengan nama Pesantren seorang putra KH Abdullah bin Nuh, KH Mustofa menceritakan, ayahnya memang mendapat pendidikan agama yang serius sejak kecil. Ketika umur belia, ia telah menghafal kitab nahwu Alfiyah Ibn Malik. Ia juga pintar bergaul, santun dan ramah. Keluarganya menanamkan percakapan bahasa Arab di rumah sejak kecil, hingga ia menguasai bahasa Arab baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, KH Abdullah bin Nuh juga menguasai bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis secara dalam bahasa Arab memang mengagumkan. KH Abdullah bin Nuh mampu menggubah syair-syair dalam bahasa Arab. Ia juga menulis sejumlah buku dalam bahasa Arab. Mantan Menteri Agama RI, M Maftuh Basyuni, yang pernah menjadi mahasiswanya di Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, menceritakan bagaimana tingginya kemampuan bahasa Arab KH Abdullah bin awal tahun 1960-an, Maftuh Basyuni sempat membantu dosennya itu dalam menyiapkan naskah-naskah radio berbahasa Arab. Naskah yang disiapkan Maftuh selalu mendapat koreksi yang sangat teliti dari Abdullah bin Nuh. “Ia sangat membimbing dan memberi semangat dalam mengkoreksi. Padahal, banyak sekali kesalahan yang saya buat,” kata konteks pergerakan kebangsaan, KH Abdullah bin Nuh juga tidak lepas dari perjuangan tersebut. Pada masa mudanya, ia juga gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah air dari penjajah Belanda. Ia pernah menjadi anggota Pembela Tanah Air PETA pada tahun 1943-1945, wilayah Cianjur, Sukabumi dan mencatat bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti lahirnya Hizbullah beberapa minggu kemudian dimana para alim ulama kemudian masuk menjadi anggotanya. Tahun 1943 tersebut benar-benar merupakan tahun penderitaan yang amat berat khususnya bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan bahwa saat itu adalah salah satu ujian paling berat bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1943 itulah KH Abdullah bin Nuh masuk PETA dengan pangkat Daidanco yang berasrama di Semplak 1945-1946, ia memimpin Badan Keamanan Rakyat BKR dan Tentara Keamanan Rakyat TKR. Pada tahun 1948-1950, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP di KH Abdullah di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yang sangat diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan-kawan seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda yang kembali masuk Indonesia, dengan membonceng NICA. Ia pun menjadi salah seorang tokoh yang hendak diciduk oleh Belanda. Ketika ibukota negara pindah ke Yogyakarta pada 4 Juni 1946, ia pun turut serta hijrah ke Yogyakarta, sekaligus menghindari upaya penangkapan oleh Belanda. Di ibukota negara yang baru ini, kiprah KH Abdullah pun terekam tidak hanya di bidang pemerintahan, tetapi juga di bidang lainnya. Ia merupakan penggagas Siaran Bahasa Arab pada RRI masa revolusi fisik ini, ia juga tercatat menjadi salah seorang pendiri Sekolah Tinggi Islam, yang kini dikenal dengan Universitas Islam Indonesia UII. Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini, ia menikah kembali. Perempuan yang dinikahinya adalah Mursyidah binti Abdullah Suyuti, yang merupakan salah seorang murid KH Abdullah di STI. Dari pernikahannya dengan Mursyidah, ia dikaruniai enam orang anak. Sementara dari pernikahannya dengan istri pertamanya, Nyi Raden Mariyah, ia mendapatkan lima orang anak. Masa perjuangan kemerdekaan dilalui KH Abdullah hingga 1950 di Kota Yogyakarta. Kemudian, ia dan keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, dan menjalani kehidupan di Ibukota ini hingga tahun 1970. Selama di Jakarta yaitu pada tahun 1950-1964, Abdullah memegang jabatan sebagai Kepala Siaran Bahasa Arab pada RRI Jakarta. Kemudian ia menjabat sebagai Lektor Kepala Fakultas Sastra Universitas itu, ia kemudian pindah dan menetap di Bogor hingga akhir hayatnya. Kiai pejuang ini wafat pada 26 Oktober 1987, setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di Bogor dan mengabdikan ilmu agamanya bagi masyarakat sekitar. Saat tinggal di Bogor, ia mendirikan sebuah majelis ta’lim bernama al-Ghazali. Majelis yang berkembang menjadi sebuah yayasan pendidikan ini hingga saat ini masih berdiri dengan dipimpin oleh putra bungsunya, KH Mustofa. Yayasan al-Ghazali tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pengajian rutin, tetapi juga membuka madrasah dan sekolah Islam dari tingkat Taman Kanak-kanak TK hingga menengah masa hidupnya, KH Abdullah bin Nuh juga sering menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan dan seminar-seminar tentang Islam di beberapa negara, antara lain Arab Saudi, Yordania, India, Irak, Iran, Australia, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Ia juga aktif dalam kegiatan Konferensi Islam Asia Afrika sebagai anggota panitia dan juru penerang yang terampil dan hidupnya, tokoh NU yang telah mendunia dan memiliki persahabatan dengan raja Yordania dan para pemimpin mancanegara lainnya ini telah banyak menulis buku baik dalam Bahasa Arab, Indonesia maupun Sunda, terjemahan maupun pemikirannya. Buku terjemahannya yang paling dikenal yaitu Minhajul Abidin Menuju Mukmin Sejati dari karya Imam al-Ghazali, sedangkan buku karangannya yang paling dikenal dan terus dipelajari oleh para santrinya di beberapa pesantren yang berada di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, yaitu Ana memahami pemikirannya, kita perlu merunut tulisan-tulisan yang telah ia terbitkan. Pada tahun 1925 ia menulis prosa yang berjudul Persaudaraan Islam diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh istrinya, Ibu Mursyidah. Dalam tulisan ini nampak jelas keinginan KH Abdullah bin Nuh supaya kaum muslimin di dunia ini bersatu padu menjadi suatu kekuatan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan, tanpa membedakan suku, ras dan ia menyatakan ”Anda saudaraku, karena kita sama-sama menyembah Tuhan yang satu. Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di sebuah padang luas, yaitu Padang Arafah. Kita sama-sama lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad Saw. Kita sama-sama bernaung dibawah langit kemanusian yang sempurna. Dan sama-sama berpijak pada bumi kepahlawanan yang utama”.Ia sangat merindukan kaum muslimin di dunia ini bersatu padu dan tidak mudah diadu domba oleh mereka yang ingin menghancurkan akidah Islam. Memang, kadangkala kita terlena dalam menghabiskan energi untuk berdebat tentang perbedaan ilmu. Padahal ilmu bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk ia sangat resah dan merasa prihatin dengan terpecah-pecahnya umat Islam di dunia ini sehingga kaum yang memusuhinya dengan mudah mengadu domba diantara kita. Setiap aliran dalam Islam dimaknai oleh pengikutnya sebagai aliran yang paling benar, sedangkan yang lainnya ia mantan pimpinan Daidanco yang nota bene berbasis kemiliteran, tapi ia sangat menghendaki dalam penyelesaian masalah penuh dengan kelembutan. Ia selalu lembut dalam menghadapi berbagai masalah, tetapi sangat keras kalau sudah menyangkut pelecehan dari 20 buku telah dihasilkan oleh KH Abdullah bin Nuh dalam berbagai bahasa. Di antara karyanya yang terkenal adalah 1 Kamus Indonesia-Inggris-Arab bahasa Indonesia, 2 Cinta dan Bahagia bahasa Indonesia, 3 Zakat dan Dunia Modern bahasa Indonesia, 4 Ukhuwah Islamiyah bahasa Indonesia, 5 Tafsir al Qur’an bahasa Indonesia, 6 Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten bahasa Indonesia, 7 Diwan ibn Nuh syiir terdiri dari 118 kasidah, 2731 bait, 8 Ringkasan Minhajul Abidin bahasa Sunda, 9 Al Alam al Islami bahasa Arab, 10 Fi Zhilalil Ka’bah al Bait al Haram bahasa Arab, 11 Ana Muslimun Sunniyun Syafi’iyyun bahasa Arab, 12 Muallimul Arabiyyah bahasa Arab, 13 Al Islam wa al Syubhat al Ashriyah bahasa Arab, 14 Minhajul Abidin terjemah ke bahasa Indonesia, 15 Al Munqidz min adl-Dlalal terjemah ke bahasa Indonesia, 16 Panutan Agung terjemah ke bahasa Sunda.Ada sejumlah sarjana yang menulis tentang KH Abdullah bin Nuh. Di antaranya adalah Prof Dr H Ridho Masduki yang menulis disertasi doktor tentang “Pemikiran Kalam dalam Diwan Ibn Nuh”. Drs. H. Iskandar Engku, menulis tesis master tentang “Ukhuwah Islamiyah Menurut Konsep KH Abdullah bin Nuh.” E. Hidayat, menulis skripsi untuk sarjana S-1 tentang “KH Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Perjuangannya.” Dudi Supiandi, menulis tesis master tentang “Pemikiran KH Abdullah bin Nuh tentang Pendidikan Islam.” Akhsan Ustadzi/Red MahbibSumber Buku Sembilan Mutiara Hikmah karya Ahmad Ubaidillah Pagentongan Bogor Cianjur, NU Online Para pengajar Fakultas Islam Nusantara FIN Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Unusia berziarah ke Ajengan Syathibi di Gentur, Cianjur, Jawa Barat pada Selasa 14/1. Penulis Mahakarya Ulama Nusantara Ahmad Ginanjar Sya'ban menyampaikan bahwa ulama yang dikenal sebagai Mama Gentur Kaler adalah maha gurunya ulama-ulama Sunda di paruh pertama abad 20. "Kiai-kiai ajengan Sunda paruh pertama abad 20 itu ya muridnya," katanya kepada NU Online usai berziarah bersama koleganya. Untuk berziarah ke Mama Gentur, para peziarah dilarang membawa ponsel dan alat-alat potret. Pasalnya, kata Ginanjar, ulama yang diziarahi ini mengharamkan kamera. Pada gerbang kompleks pemakamannya terdapat tulisan dengan cat warna merah tentang pelarangan membawa ponsel ke area makam. Bahkan, jangankan di area makam, penduduk sekitarnya sendiri juga sungkan, tidak berani, memotret segala sesuatu di wilayah Gentur. Selain itu, peziarah juga diharuskan bersarung sebagai bagian dari tatakrama sowan kepada sahibul maqam. Sebaiknya, jika hendak berziarah perlu dipersiapkan sarungnya. Meskipun, di depan gerbangnya, terdapat lapak yang menyediakan sarung untuk pengunjung. Namun, saat para dosen FIN Unusia berziarah pukul WIB, lapak tersebut masih tutup. Dari praktik tersebut, pengajar FIN Unusia Syamsul Hadi menyebutkan bahwa cara kehidupan masyarakat setempat masih mempertahankan tradisi, meskipun dalam berkehidupannya sudah sedikit modern dengan gaya membajak sawahnya yang sudah menggunakan mesin dan sebagainya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bacaan saat ziarah. Selain bacaan tahlil atau surat-surat pilihan lainnya, dianjurkan juga untuk membaca shalawat Nariyah. Namun, ada satu hal yang berbeda bacaannya dengan shalawat Nariyah pada umumnya, yakni pada lafal wa yustasqa al-ghamamu, ketika berziarah di Makam Mama Gentur, lafal tersebut dibaca wa yastasqi al-ghamamu, menghormati ijazah shalawat Nariyah yang sampai kepada sahibul maqam. Setiap pekan ketiga Jumadil Akhir diadakan Haul Mama Gentur. Ajengan Heri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-I'tishom, puluhan ribu orang akan memadati pemakamannya. Tak ayal, saat FIN Unusia berziarah, puluhan lapak dari jarak ratusan meter sudah siap untuk digunakan berjualan mengingat waktu haul sekitar dua minggu lagi. Budayawan Ngatawi Al-Zastrouw menyampaikan bahwa hal itu sangat baik karena meningkatkan perekonomian masyarakat. Tak jauh dari pemakaman Mama Gentur Kaler, ada pula makam Mama Gentur Kidul yang bernama asli Ajengan Qurthubi. Ia merupakan adik dari Ajengan Syathibi. Keduanya ini berguru kepada Mama Sohih yang makamnya juga berjarak sekitar 2 KM. Pewarta Syakir NF Editor Abdullah Alawi

makam mama abdullah bin nuh